Sejarah Singkat Ingwer Ludwig
Nommensen di Tanah Batak
Hidup atau
mati biarlah aku tinggal di tengah-tengah bangsa ini untuk menyebarkan firman
dan kerajaan-Mu. Amin” (Dr. Ingwer Ludwig Nommensen)
Berbicara
tentang peradaban Batak, barangkali akan lain ceritanya jika Dr. Ingwer Ludwig
Nommensen tidak pernah menginjakkan kakinya di Tanah Batak. Siapakah dia dan
mengapa ia dijuluki sebagai “Apostel Batak”? Nommmensen adalah manusia biasa
dengan tekad luar biasa. Perjuangan pendeta kelahiran 6 Februari 1834 di Marsch
Nordstrand, Jerman Utara itu untuk melepaskan animisme dan keterbelakangan dari
peradaban Batak patut mendapatkan penghormatan. Maka tak heran, suatu kali
dalam sidang zending di Barmen, ketika utusan Denmark dan Jerman mengklaim
bahwa Nommensen adalah warga negara mereka, Pendeta Dr. Justin Sihombing yang
hadir waktu itu justru bersikeras mengatakan bahwa Nommensen adalah orang
Batak. Nommensen muda, ketika genap berusia 28 tahun telah hijrah meninggalkan
Nordstrand dan hidup di Tanah Batak hingga akhir hayatnya dalam usia 84 tahun. Masa
mudanya, ia lewati dengan menjalani pendidikan teologia (1857-1861) di
Rheinische Missions-Gesselscha ft (RMG) Barmen, setelah menerima sidi pada hari
Minggu Palmarum 1849, ketika berusia 15 tahun.
Sebenarnya, kedatangan penginjil-penginjil Eropa ke Tanah
Batak pun sudah dimulai sejak 1820-an. Pada 1824 Gereja Baptis Inggris
mengirimkan dua penginjil: Pendeta Burton Ward dan Pendeta Evans yang terlebih
dahulu tiba di Batavia. Pendeta Evans menginjil di Tapanuli Selatan, Pendeta
Burton Ward di wilayah Silindung. Sayangnya, mereka ditolak. Animesme masih
kuat dalam kehidupan suku Batak. Sepuluh
tahun kemudian, dua penginjil Amerika: Samuel Munson dan Henry Lyman pun tiba
di Silindung. Tapi, mereka malah mendapati ajalnya di sana setelah dibunuh oleh
sekelompok orang di Saksak Lobu Pining, sekitar Tarutung. Pembunuhan dilakukan
atas perintah Raja Panggalamei. Kedua missionaris dimakamkan di Lobu Pining,
sekitar 20 kilometer dari Kota Tarutung, menuju arah Kota Sibolga.
Impian dari kesederhanaan
Impian Nommensen untuk menjadi penginjil sudah muncul sejak
kecil, meski pada pada masa-masa itu ia sudah terbiasa hidup sederhana. Dalam
kesederhanaan itu, disebabkan orangtuanya yang tunakarya dan sering
sakit-sakitan, ia bahkan sering kelaparan karena tidak punya makanan sehingga
terpaksa mencari sisa-sisa makanan di rumah-rumah orang kaya bersama
teman-temannya. Maka, sejak usia 8 tahun pun ia sudah menjadi gembala upahan
hingga umur 10 tahun. Tapi, rintangan tak luput menghambat cita-cita mulia itu.
Sekali waktu, ketika berusia 12 tahun, Nommensen mengalami kecelakaan ketika
berkejar-kejaran dengan temannya dan tertabrak kereta kuda sehingga membuat
kakinya lumpuh. Akan tetapi Tuhan berkehendak lain. Ketika dokter yang merawatnya
menganjurkan agar kakinya diamputasi, ia menolak dan meminta agar didoakan oleh
ibunya dengan syarat, jika doa itu terkabul maka ia akan memberitakan injil
kepada orang yang belum mengenal Kristus. Tak lama kemudian doa itu terkabul,
ia pun sembuh.
Pada 1853, dengan keputusan yang matang, berbekal sepatu dan
pakaian seadanya, ia pun pergi meninggalkan kampung halamannya untuk meraih
cita-cita dan janjinya itu, yang juga sempat tertunda karena gagal menjadi
kolesi di pelabuhan Wick. Ia kemudian bertemu dengan Hainsen, mantan gurunya di
Boldixum. Hainsen lalu mempekerjakannya sebagai guru pembantu di Tonderm
setelah beberapa waktu menjadi koster. Di sinilah ia bertemu dengan Pendeta
Hausted dan mengungkapkan cita-citanya itu. Ia pun melamar di Lembaga Pekabaran
Injil Rhein atau RMG Barmen. Nommensen lalu mematangkan pengetahuannya tentang
injil dengan kuliah teologia pada 1857, ketika berusia 23 tahun. Pada masa itu,
pekerjaan sebagai tukang sapu, pekerja kebun dan juru tulis sekolah, turut
disambinya, hingga ia lulus dan ditahbiskan menjadi pendeta pada 13
Oktober1861, yang kemudian membawanya ke Tanah Batak pada 23 Juni 1862.
Dari Norsdtrand ke Silindung
Nommensen, yang kini tetap dikenang dan dipanggil dengan
gelar kehormatan “Ompu I, Apostel Batak”, dalam perjalanan misi zendingnya
bukanlah tanpa rintangan. Bahkan, dalam beberapa kali ia pernah akan dibunuh
dengan cara menyembelih dan meracunnya. Alasannya, ia dicurigai sebagai
mata-mata “si bottar mata” (stereotip ini ditujukan kepada Belanda). Tapi ia
tidak takut sebab janjinya kepada Tuhan harus dipenuhi. Sekali waktu ia pun
berkata, ”Tidak mungkin, seujung rambut pun tidak akan bisa diambil kalau tidak
atas kehendak Allah.”
Sebelumnya, setelah resmi diutus dari RMG Barmen ia terlebih dahulu menemui Dr. H. N. Van der Tuuk, yang sebelumnya pada 1849 telah diutus oleh Lembaga Alkitab Belanda untuk mempelajari Bahasa Batak. Setelah mendapatkan mendapatkan informasi lebih jauh tentang Batak, maka pada 24 Desember 1861 ia pun berangkat dengan kapal “Partinax” menuju Sumatra dan tiba di Padang pada 16 Mei 1862. Dari sana ia kemudian meneruskan perjalanannya ke Barus melalui Sibolga. Di sinilah pertama kali ia bertemu langsung dengan orang Batak kemudian mempelajari bahasa dan adatnya. Hanya saja, ia tak lama di sana. Selain karena sudah masukya agama Islam, ia melihat adanya nilai pluraritas antarsuku yang sudah menyatu di sana: Toba, Angkola, Melayu, Pesisir. Maka, setelah beberapa bulan tinggal di sana, ia pun memutuskan untuk pergi ke daerah lain: Sipirok. Lalu, atas keputusan rapat pendeta yang ke-2 pada 7 Oktober 1862 di Sipirok (setelah sebelumnya melayani penduduk di Parau Sorat, dan mendirikan gereja yang pertama di sana), pergilah ia menuju wilayah perkampungan Batak yang dikenal dengan Silindung. Di sana, suatu kali di puncak (dolok) Siatas Barita (sekarang puncak Taman Wisata Rohani Salib Kasih, Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara), Nommensen pernah hendak dibunuh. Waktu itu sedang berlangsung ritual penyembahan kepada Sombaon Siatas Barita, ialah roh alam yang disembah orang Batak. Kerbau pun disembelih. Akan tetapi, pemimpin ritual (Sibaso) tidak menyukainya dan menyuruh pengikutnya untuk membunuhnya.
Sebelumnya, setelah resmi diutus dari RMG Barmen ia terlebih dahulu menemui Dr. H. N. Van der Tuuk, yang sebelumnya pada 1849 telah diutus oleh Lembaga Alkitab Belanda untuk mempelajari Bahasa Batak. Setelah mendapatkan mendapatkan informasi lebih jauh tentang Batak, maka pada 24 Desember 1861 ia pun berangkat dengan kapal “Partinax” menuju Sumatra dan tiba di Padang pada 16 Mei 1862. Dari sana ia kemudian meneruskan perjalanannya ke Barus melalui Sibolga. Di sinilah pertama kali ia bertemu langsung dengan orang Batak kemudian mempelajari bahasa dan adatnya. Hanya saja, ia tak lama di sana. Selain karena sudah masukya agama Islam, ia melihat adanya nilai pluraritas antarsuku yang sudah menyatu di sana: Toba, Angkola, Melayu, Pesisir. Maka, setelah beberapa bulan tinggal di sana, ia pun memutuskan untuk pergi ke daerah lain: Sipirok. Lalu, atas keputusan rapat pendeta yang ke-2 pada 7 Oktober 1862 di Sipirok (setelah sebelumnya melayani penduduk di Parau Sorat, dan mendirikan gereja yang pertama di sana), pergilah ia menuju wilayah perkampungan Batak yang dikenal dengan Silindung. Di sana, suatu kali di puncak (dolok) Siatas Barita (sekarang puncak Taman Wisata Rohani Salib Kasih, Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara), Nommensen pernah hendak dibunuh. Waktu itu sedang berlangsung ritual penyembahan kepada Sombaon Siatas Barita, ialah roh alam yang disembah orang Batak. Kerbau pun disembelih. Akan tetapi, pemimpin ritual (Sibaso) tidak menyukainya dan menyuruh pengikutnya untuk membunuhnya.
Lalu, kata Nommensen kepada mereka, “Roh yang berbicara
kepada Sibaso bukanlah roh Siatas Barita, nenek moyangmu, melainkan roh setan.
Nenek moyangmu tidak mungkin menuntut darah salah satu keturunannya.” Sibaso
jatuh tersungkur dan mereka tidak mengganggunya lagi. Setelah berhasil menjalin
persahabatan dengan raja-raja yang paling berpengaruh di Silindung: Raja
Amandari dan Raja Pontas Lumban Tobing, maka pada 29 Mei 1864, Nommensen
mendirikan gereja di Huta Dame, sekitar Desa Sait ni Huta, Tarutung. Kemudian
atas tawaran Raja Pontas, maka turut didirikan jemaat di Desa Pearaja, yang
kini menjadi pusat gereja HKBP. Setelah itu ia pergi ke Humbang dan tiba di
Desa Huta Ginjang. Kemudian pada 1876 ia berangkat ke Toba ditemani Pendeta
Johannsen dan sampai di Balige. Tetapi, akibat situasi yang gawat waktu itu,
ketika pertempuran antara pasukan Sisingamangaraja XII dengan pasukan Belanda
sedang terjadi, mereka pun menangguhkan perjalanan dan kembali ke Silindung. Pada
1886 Nommensen kembali ke Toba (Laguboti dan Sigumpar), setelah pada 1881
Pendeta Kessel dan Pendeta Pilgram tiba dan berhasil menyebarkan injil di sana.
Misi kedua pendeta ini kemudian dilanjutkan oleh Pendeta Bonn yang telah
mendapat restu dari Raja Ompu Tinggi dan Raja Oppu Timbang yang menyediakan
lahan gedung sekolah di Laguboti.
Pendeta Boon pindah dari Sigumpar ke Pangaloan dan Nommensen
menggantikan tugasnya. Sepeninggalan Boon, Nommensen mendapat rintangan di mana
sempat terjadi perdebatan sesama penduduk atas izin sebidang tanah. Setelah
akhirnya mendapat persetujuan dari penduduk, ia pun mendirikan gereja, sekolah,
balai pengobatan, lahan pertanian dan tempat tinggalnya di sana. Konsep
pembangunan satu atap ini disebut dengan “pargodungan”, yang menjadi karakter
setiap pembangunan gereja Protestan di Tanah Batak. Dari Sigumpar, Nommensen
bersama beberapa pendeta lainnya melanjutkan zending dengan menaiki “solu”
(perahu) melintasi Danau Toba yang dikaguminya menuju Pulau Samosir. Maka, pada
1893 Pendeta J. Warneck pun tiba di Nainggolan, 1898 Pendeta Fiise di Palipi,
1911 Pendeta Lotz di Pangururan dan 1914 Pendeta Bregenstroth di Ambarita. Misi
zending tak berhenti sampai di sana. Nommensen lalu mengajukan permohonan
kepada RMG Barmen agar misinya diperluas hingga wilayah Simalungun. Permohonan
itu ditanggapi dengan mengutus Pendeta Simon, Pendeta Guillaume dan Pendeta
Meisel menuju Sigumpar pada 16 Maret 1903. Dari sana mereka pergi ke Tiga
Langgiung, Purba, Sibuha-buhar, Sirongit, Bangun Purba, Tanjung Morawa, Medan,
Deli Tua, Sibolangit dan Bukum. Bersama Nommensen, mereka pun melanjutkan
perjalanan melalui Purba, Raya, Pane, Dolok Saribu hingga Onan Runggu.
Zending inkulturatif
Misi Nommensen memang penuh pengorbanan. Tapi, ia tulus.
Demi misinya, ia bahkan tak sempat melihat Caroline Gutbrod, yang wafat setelah
sebelumnya jatuh sakit dan terpaksa dipulangkan ke Jerman. Nommensen juga
banyak menyisakan kenangan, yang barangkali menjadi simbol pengorbanan dan
jasanya kelak. Kenangan-kenangan itu ibarat benih, meski sang penabur kelak
telah tiada. Barangkali, Gereja Dame adalah salah satu benih itu, yang ketika
penulis berkunjung ke sana, tampak kondisiya sudah mulai usang tapi masih
berfungsi. Gereja kecil itu adalah gereja yang pertama kali didirikannya ketika
menginjakkan kakinya di daerah Silindung, Tarutung. Lokasinya di Desa Onan
Sitahuru Saitni Huta, sekitar 2 kilometer ke arah selatan Kota Tarutung,
Kabupaten Tapanuli Utara. Di gereja ini, Nommensen mulai mengajar umatnya
dengan teratur. Selain mengajar Alkitab (termasuk menerjemahkan kitab Perjanjian
Baru ke dalam bahasa Batak), ia juga mengajar pertanian serta mulai menyusun
tata pelaksanaan ibadah gereja dengan teratur. Onan Sitahuru sendiri, sekitar
1816-1817 merupakan pusat perdagangan terbesar di Tanah Batak karena terdapat
sebuah “hariara” (pohon beringin) di sana. Menurut penuturan warga setempat, di
pohon inilah Nommensen pernah akan dipersembahkan kepada Dewa Siatas Barita,
tapi ia berhasil diselamatkan pembantunya. Pohon berusia 190 tahun itu kini
masih dapat ditemui di sana. Tercatat pula bahwa sejak tahun 1861 telah berdiri
gereja-gereja kecil (resort) di Sipirok dan Bunga Bondar atas misi zending
sebelumnya. Kemudian atas Nommensen pada 1862 di Parau Sorat, Pangaloan,
Sigompulon; 1864 di Pearaja; 1867 di Pansur Napitu; 1870 di Sipoholon, Sibolga,
Aek Pasir; 1875 di Simorangkir; 1876 di Bahal Batu; 1881 di Balige; 1882 di
Sipahutar, Lintong ni Huta; 1883 di Muara; 1884 di Laguboti, 1888 di Hutabarat,
Sipiongot; 1890 di Sigumpar, Narumonda, Parsambilan, Parparean; 1893 di
Nainggolan; 1894 di Silaitlait; 1897 di Simanosor Batangtoru; 1898 di Palipi;
1899 di Lumban na Bolon, 1900 di Tampahan, Butar; 1901 di Sitorang; 1902 di
Lumban Lobu, Silamosik, Nahornop; 1903 di Paranginan, Pematang Raya; 1904 di
Dolok Sanggul; 1905 di Parmonangan, Sipiak; 1906 di Parsoburan; 1907 di
Pematang Siantar; 1908 di Sidikalang; 1909 di Bonan Dolok, Tukka; 1910 di
Purbasaribu; 1911 di Barus; 1912 di Medan; 1914 di Ambarita dan 1922 di
Jakarta. Sekarang, benih-benih itu telah berbuah dengan lahirnya gereja-gereja HKBP,
GKPI, HKI, GKPS, GBKP dan GKPA, sebagai buah misi zending inkulturatif, yang
tidak melupakan keaslian budaya setempat dalam pelaksanaan rutinitas ibadah.
Atas jasanya itu, RMG kemudian mengangkat Nommensen menjadai ephorus pada 1881
hingga akhir hayatnya dan digantikan oleh Pendeta Valentine Kessel (1918-1920).
Pada 6 Februari 1904, ketika genap berusia 70, Universitas Bonn
menganugerahinya gelar Doktor Honoris Causa. Namanya lalu ditabalkan untuk dua
universitas HKBP yang ada di Medan dan Pematangsiantar yang hingga saat ini
masih berdiri. Kemudian, pada Oktober 1993 dibangun pula Kawasan Wisata Rohani
Salib Kasih (KWRSK) di puncak Siatas Barita, di mana ia pertama kali
menginjakkan kakinya di Silindung. Salib sepanjang 31 meter terpancang di sana,
seakan-akan melukiskan kisah karyanya yang agung. Nommensen wafat pada 23 Mei
1918 dan dimakamkan di sisi makam istrinya yang kedua Christine Hander dan
putrinya serta missionaris lainnya di Desa Sigumpar, Kecamatan Silaen Kabupaten
Toba Samosir. Sejak 1891 ia telah tinggal di sana hingga akhir hidupnya.
Kemudian pada 29 Juni 1996 Yayasan Pasopar, lembaga yang peduli dengan
kelestarian sejarah kekristenan di Tanah Batak, memugar makamnya dan
mengabadikannya menjadi “Nommensen Memorial”. Kini, Nommensen telah tiada tapi
karyanya tetap hidup. Ia telah menabur benih-benih cinta kasih sepanjang
misinya untuk kita (Batak). Dan, sudahkah kita menuai buah cinta kasihnya itu
kini?
No comments:
Post a Comment